Dilihat dari angka kumulatif kasus HIV+/AIDS menurut propinsi, DKI Jakarta masih tetap menduduki rangking teratas di bandingkan propinsi lain di Indonesia dengan jumlah total 183 kasus yang terdiri dari 112 kasus HIV+ dan 71 kasus AIDS. Menurut laporan Depkes-RI bulan April tahun 1998 angka kumulatif kasus HIV+/AIDS berdasarkan faktor resiko menunjukkan bahwa 458 dari 660 kasus HIV+/AIDS di Indonesia diantaranya ditransmisikan melalui praktek heteroseksual dimana praktek pelacuran berada di dalam pengertian tersebut (Ditjen P2MPLP-Depkes 1998). Tujuan penelitian ini adalah (a) Mendeskripsikan Karakteristik tempat-tempat Pelacuran Liar (Nama tempat, Luas, Tahun Mulainya, Jumlah Pelacur dan Spesifikasi Tempat) di lima wilayah DKI Jakarta; (b) Mendeskripsikan karakteristik Pelacur Liar (Nama Tempat, Asal, Usia, Tarif terendah tertinggi dan Ciri Tamu) di Lima Wilayah DKI Jakarta; dan (c) Mendeskripsikan penanganan masalah pelacuran Liar di DKI Jakarta. Dalam penelitian ini digunakan penelitian kualitatip untuk memperlihatkan secara terperinci mengenai perbedaan pengalaman, pemahaman, penafsiran dan persepsi sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu, dan relevan dengan tujuan dari penelitian (Moleong 1996). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, Sedangkan pedoman wawancara disusun sebagai alat bantu peneliti agar wawancara lebih terarah. Teknik pengambilan responden dengan menggunakan sampling bertujuan. Jumlah responden dalam penelitian adalah 17 orang. Keseluruhan responden penelitian ini diklasifikasikan sebagai berikut 6 orang pejabat di lingkungan instansi Dinas dan Suku Dinas Sosial, 6 orang pejabat di lingkungan instansi Dinas dan Suku Dinas Kesehatan dan 5 orang pejabat di lingkungan instansi Kepolisian yang mewakili wilayahnya masing-masing. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut ini: (1) Teridentifikasi 85 tempat-tempat pelacur liar di DKI Jakarta dengan jumlah 4280 pelacur dengan konsentrasi 63.53% tersebar di tempat-tempat umum dan 36. 47% berbaur dengan pemukiman penduduk. Dari keaktifannya, ternyata 76.64% merupakan tempat-tempat pelacuran lama yang sudah bertahan dua - tiga puluh tahun lalu, 16.31% yang sudah sepuluh tahun berjalan dan hanya 7.05% merupakan tempat-tempat pelacuran baru; (2) Sebagian besar daerah asal pelacur dari Jawa Barat dengan usia terendah 15 sampai dengan 35 tahun dengan tarif terendah yang dibayarkan oleh tamunya adalah 5000 sampai tarif tertinggi 150.000 rupiah. Dengan pengecualian seandainya sepi bagi pelacur liar Tanah Abang Bongkaran dapat pindah praktek di tempat ramai seperti ke Taman Monas/Gambir atau jalan Sabang maka tarifnya akan dua kali lebih mahal. Sedangkan tamu-tamu yang datang rata-rata mencerminkan kelompok bawah, dimana pekerja di sektor informal menjadi ciri khasnya. Hal ini sesuai dengan prosentasi konsentrasi tempat-tempat pelacuran liar yaita di tempat-tempat umum dan di pemukiman penduduk golongan bawah. Tempat-tempat pelacuran liar seperti Boker dan Kalijodo meyediakan praktek di dalam dan di luar. Karakteristik pelacur yang praktek didalam biasanya lebih tua (25 tahun keatas) dan tarifnya tergantung tawar menawar dan pasti lebih murah (25 ribu kebawah). Biasanya pelacur-pelacur profesional yang sudah biasa terkena "garukan" petugas keamanan dan ketertiban; sedangkan karakteristik pelacur yang berada di jalanan biasanya usianya lebih muda (25 tahun kebawah), tarifnya jauh lebih mahal, tidak bisa ditawar-tawar dan merupakan pelacur yang belum berpengalaman dan baru dalam taraf coba-coba dan belum pernah kena "garukan" petugas; (3) Sedangkan penanganan pelacuran liar di DKI Jakarta oleh petugas sosial, petugas kesehatan dan kepolisian memiliki karakateristik sendiri-sendiri. Petugas kepolisian mempunyai ciri khas dengan tugas melakukan razia yaitu menertibkan dan mengamankan dengan menangkap pelacur-pelacur liar di lapangan, melakukan pendataan kemudian menyerahkannya kepada petugas sosial Kemudian, petugas sosial secara khas pula menangani pelactir liar yaitu dengan pemulangan ke daerah asal atau dikembalikan kepada keluarga untuk dididik dan direhabilitasi sehingga menjadi tanggung jawab keluarga masi-masing, lalu bagi yang ingin bekerja mandiri dan ingin berpindah profesi dimasukan ke dalam pusat latihan (Liposos) untuk mendapat bimbingan dan latihan kewiraswastaan disalurkan dan bagi yang tetap ingin meneruskan profesi disalurkan ke lokalisasi Kramat Tunggak. Pelacur-pelacur liar yang sudah bergabung ke dalam lokalisasi Kramat Tunggak inilah yang mendapat pelayanan petugas kesehatan misalnya penyuluhan penggunaan kondom, penyuluhan HIV/ AIDS, pengobatan dan penyuntikan massal. Baik petugas Kesehatan, petugas Kepolisian dan petugas Sosial beranggapan tidak akan ada upaya apapun bagi pelacur liar yang berada di jalanan, disekitar pabrik, disekitar pangkalan truk, di sekitar Mall, di sekitar permukiman penduduk mereka merupakan "pekerjaan rumah" (PR) yang tidak ada habis-habisnya karena tidak ingin membuat para pelacur itu berfikir praktek mereka itu akhirnya dilegalkan atau disyahkan. Demikianlah kesimpulan dari hasil penelitian sehingga dapat dijadikan acuan untuk melakukan kegiatan kesehatan khususnya untuk memperlambat infeksi PMS dan HV+/AIDS berikut ini saran-saran yang dapat diajukan oleh peneliti: (1) berdasarkan karakteristik tempat pelacuran liar (nama tempat, luas, tahtm aktif, jumlah pelacur dan spesifikasi tempat) dapat diklasifikasikan urutan wilayah yang dapat dijadikan sasaran utama program kesehatan adalah Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat dengan spesifikasi tempat-tempat pelacuran liar yang berada di sekitar pemukiman penduduk dan tempat-tempat umum seperti taman, stasion kereta api terminal bis, dan pusat perbelanjaan. (2) berdasarkan karakteristik pelacur liar (asal, usia, tarif dan tamu) maka sasaran program kesehatan sebaiknya memperhatikan daerah asal mereka adalah dari Jawa Barat: Indramayu, Majalengka, Cirebon dan Jabotabek: Jakarta, Bogor Tanggerang dan Bekasi. Spesifikasi tamu dari kelompok menengah bawah sesuai dengan tarif yang diterima oleh pelacur yang terendah adalah 5000 rupiah sampai dengan 150.000 rupiah; dan (3) berdasarkan karakteristik penanganan (macam program/ frekwensi, saran dan kesulitan) sebaiknya masalah pelacuran liar ini tidak hanya ditangani oleh LSM, petugas sosial , petugas kesehatan, dan kepolisian saja tetapi menjadi tanggung jawab dan perhatian Depnaker dan MenUPW. |