Kedudukan bahasa Indonesia sudah dianggap penting sejak pertama kali diproklamirkan pada Sumpah Pemuda 1928, khususnya pada ikrar ketiga yang berbunyi "Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatuan bahasa Indonesia". Ini menandakan bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional; kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. Selain itu, di dalam Bab XV Pasal 36 UUD '45 tercantum pasal khusus mengenai kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Dengan demikian, ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928. Kedua, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara sesuai dengan UUD '45. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia, antara lain, berfungsi sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Di perguruan tinggi mata kuliah bahasa Indonesia bertujuan agar mahasiswa terampil menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, khususnya dalam bahasa tulisan, sebagai sarana pengungkapan gagasan ilmiah. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi mencakup tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendeknya ialah agar mahasiswa mampu menyusun karya ilmiah atau tugas-tugas yang diberikan dosen-dosen dengan menerapkan dasar-dasar penulisan yang diperoleh dari kuliah bahasa Indonesia. Tujuan jangka panjangnya ialah agar mahasiswa dapat menyusun skripsi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai persyaratan mengikuti ujian sarjana atau komprehensif. Bahkan, setelah lulus, mereka diharapkan terampil menyusun laporan penelitian atau karya ilmiah lainnya. Di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, kurang lebih empat tahun yang lalu bahasa Indonesia sudah diajarkan kepada mahasiswa sebagai mata kuliah dasar keahlian alat (MKDKA). Menurut pengamatan penulis selama mengajar bahasa Indonesia dan membaca skripsi mahasiswa, kondisi berbahasa Indonesia di fakultas nonbahasa seperti fakultas ekonomi masih memprihatinkan. Banyak aspek kebahasaan yang perlu mendapat perhatian dan pembenahan, seperti ejaan, tanda baca, pengalimatan, penggunaan istilah asing yang sangat marak, dan penalaran dalam berbahasa. Ada satu aspek yang menggelitik penulis untuk diamati terlebih dahulu, yakni pengalimatan. Dalam menulis atau merangkai kalimat, mahasiswa sering mencampuradukkan ragam lisan dengan ragam tulisan; padahal, dalam penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kaidah-kaidah yang berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku bagi ragam tulisan. Perbedaan tersebut, antara lain, di dalam ragam lisan unsur-unsur gramatikal, seperti subjek, predikat, objek/ pelengkap, dan keterangan tidak selalu dinyatakan bahkan dapat ditinggalkan. Hal ini disebabkan bahasa yang digunakan dalam ragam lisan dapat didukung oleh bahasa tubuh dan intonasi. Namun, tidak demikian halnya dengan ragam tulisan yang perlu menyatakan fungsi-fungsi gramatikal secara lebih jelas dan lengkap. Belum lagi bila mahasiswa menggunakan struktur bahasa asing di dalam menulis kalimat. Jelas, ini sudah menyalahi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sihombing (1998) bahkan menekankan bahwa bahasa tulisan setidak-tidaknya mempunyai dua ciri penting (khususnya dalam tulisan-tulisan ilmiah seperti skripsi), yaitu tidak bersemuka dan searah. Tidak bersemuka diartikan bahwa bahasa yang digunakan harus dengan jelas mengungkapkan hal yang hendak disampaikan, tidak mengandung ketaksaan. Searah diartikan bahwa bahasa yang digunakan harus memuat informasi yang selengkapnya, di samping tata bahasanya harus baku. |