Anda belum login :: 27 Nov 2024 02:11 WIB
Detail
BukuDiskursus Agama dalam Komunikasi Politik: Meninjau Ulang Proposal John Rawls (Paper Dibawakan pada Konferensi HIDESI 2009 "Etika dan Politik dalam Aspek Nasionalisme dan Globalisme", Universitas Dian Nuswantoro - Semarang)
Bibliografi
Author: Nugroho, Aloisius Agus
Topik: Liberalisme Politik; Nalar Publik; Doktrin Komprehensif; Keadilan
Bahasa: (ID )    
Tempat Terbit: Semarang    Tahun Terbit: 2009    
Jenis: Papers/Makalah - pada seminar lokal/institusi
Fulltext: Alois Agus Nugroho (II).pdf (743.14KB; 10 download)
Ketersediaan
  • Perpustakaan Pusat (Semanggi)
    • Nomor Panggil: RR-2847
    • Non-tandon: tidak ada
    • Tandon: 1
 Lihat Detail Induk
Abstract
Gagasan berupa keadilan sebagai "fairness" (1971) yang terkenal itu sesudah dua dekade dikritik sendiri oleh Rawls sebagai memuat bias ideologis berupa "liberalisme filosofis" (philosophical liberalism) yang merupakan "doktrin komprehensif". Penggunaan sebuah "doktrin komprehensif" sebagai sumber kosakata komunikasi politik kemudian disadarinya sebagai ketakadilan prosedural yang memarginalkan para penganut "doktrin komprehensif" yang lain.
Dalam political liberalism (1993), John Rawls mengusulkan prosedur baru yang memadat di sekitar konsep "nalar publik" (public reason). Konsep ini berkaitan dengan usaha menciptakan "masyarakat yang terorganisasi dengan baik" (well ordered society). Nalar publik terlaksana bila para hakim, para anggota parlemen, para pejabat publik dan para kandidat yang akan menduduki jabatan-jabatan itu dalam komunikasi dan tindakan politik mereka tidak mendasarkan diri pada "doktrin komprehensif" tertentu, melainkan pada "nalar publik", yakni pada konsep politis tentang keadilan yang menurut mereka paling masuk akal, dengan kosa kata yang dapat dipahami oleh semua pihak, dari "doktrin komprehensif" apa pun. Nalar publik juga mengikat warganegara biasa, khususnya dalam deliberasi waktu pemilihan umum. Namun, nalar publik hanya berlaku dalam ruang politik dan tidak boleh membatasi ruang gerak wacana doktrin komprehensif pada "budaya latar belakang" (background culture) masyarakat warga.
Habermas (2005) mengritik pendekatan Rawls ini dengan mengatakan bahwa "liberalisme politis" ini tetap akan memarginalkan - utamanya - para penganut agama yang taat, karena mereka akan menanggung beban psikologis dan spiritual. Habermas berpendapat bahwa, dalam komunikasi politik, orang beragama boleh menjadikan agamanya sebagai sumber konsep-konsep politis, namun dengan catatan bahwa konsep-konsep itu harus "diterjemahkan" ke dalam kosa kata yang tidak eksklusif dan dapat dimengerti oleh semua pihak.
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Lihat Sejarah Pengadaan  Konversi Metadata   Kembali
design
 
Process time: 0.21875 second(s)