Masalah perkawinan antar pemeluk agama atau perkawinan beda agama merupakan masalah yang sangat rumit, sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, yang mengatur mengenai perkawinan beda agama ialah Regeling op de Regemengde Huwelijken, s. 1898 No. 158 (GHR) namum ketentuan dari GHR ataupun dari Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen S.1933 No.74 tidak mungkin dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar dengan Undang-undang Perkawinan, jika diteliti pasal-pasal dalam Undang-undang Perkawinan, jika diteliti pasal-pasal dalam Undang-undang Perkawinan tidak akan ditemukan satu pasal pun yang mengatur secara jelas dan tegas, hal ini menimbulkan perbedaan dalam penafsirannya, bagi sebagian menganggap perkawinan beda agama adalah dilarang, bagi yang lain membolehkan, pasal 2 Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa, (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, bagi yang beragama Islam pencatatan Perkawinan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama, sedangkan yang beragama selain Islam dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil. Hal tersebut mengharuskan perkawinan dilakukan menurut negara tanpa mengabaikan agamanya yang akan membingungkan jika perkawinan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, pasal ini berlaku untuk perkawinan pasangan yang seagama, sehingga dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya Undang-undang perawinan melarang perkawinan beda agama. Dalam penelitian yuridis normatif ini, analisis yang digunakan ialah dengan cara mengumpulkan data untuk kemudian diolah dan dianalisa sesuai sifat data yang terkumpul, untuk selanjutnya disajikan secara evaluatif analisis. Terutama mengenai alasan mengapa Mahkamah Agung dapat mengijinkan perkawinan yang jelas-jelas dilarang oleh agama |