Hukum kepailitan di Indonesia telah mengatur peran, tanggungjawab, tugas dan kewenangan Hakim Pengawas maupun kurator dalam pengurusan masalah kepailitan yang terjadi antara dua atau lebih kreditur dengan debitur pailit. Dalam menjalankan perannya, kurator telah dibatasi oleh Kode Etik Profesi, seperti: prinsip etika yang meliputi prinsip independen, tindakan terhadap harta pailit, tanggung jawab, kepentingan masyarakat, integritas, obyektivitas, perilaku profesional serta Standar Profesi dan Aturan Etika Profesional yang mengatur hubungan kerja dengan pihak terkait seperti debitur pailit, kreditur dan hakim Pengawas. Selain adanya aturan-aturan yang membatasi kurator, dalam pelaksanaan tugasnya kurator dilindungi oleh payung hukum berupa putusan pailit sekaligus pengangkatan kurator oleh Pengadilan Niaga sesuai pasal 15 UUK tahun 2004. Namun dalam pelaksanaannya masih ditemui penyimpangan yang dilakukan oleh pihak kurator antara lain tidak menerapkan prinsip-prinsip kode etik profesi seperti: adanya kolusi antara kurator dengan Hakim Pengawas, dengan debitur pailit, ataupun dengan kreditur. Sebaliknya kurator kurang bekerja sama (koordinasi) dengan debitur pailit sehingga hasil pelaksanaan tugas tidak optimal (pengunduran diri kurator di tengahtengah proses pengurusan), dengan demikian muncul permasalahan hukum yang baru. Dalam hal kasus-kasus tersebut, maka yang akan terkena imbasnya adalah pihak kreditur maupun debitur yang bersengketa. Dari uraian tersebut diatas, penulis menganggap permasalahan tersebut diatas disebabkan oleh kurang profesionalnya seorang kurator dalam menjalankan perannya serta penerapan Kode Etik yang tepat. Untuk itu dalam penulisan ini dicoba mencari penyebab dan memberikan solusi sebagai alternatif peningkatan kerja seorang kurator kepailitan. |