Anda belum login :: 22 Nov 2024 23:08 WIB
Detail
BukuGambaran Perbedaan Konsep Diri antara Remaja Tuna Daksa yang Bersekolah di Sekolah Inklusi dan Sekolah Luar Biasa D (Suatu Studi Kualitatif)
Bibliografi
Author: HANI, SISILIA ; Pandia, Weny Savitry S. (Advisor); Widyawati, Yapina (Advisor)
Topik: Konsep Diri; Sekolah Inklusi; Sekolah Luar Biasa; SLB D
Bahasa: (ID )    
Penerbit: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya     Tempat Terbit: Jakarta    Tahun Terbit: 2007    
Jenis: Theses - Undergraduate Thesis
Fulltext: Sisilia Hani Undergraduated Theses.pdf (360.57KB; 163 download)
Ketersediaan
  • Perpustakaan Pusat (Semanggi)
    • Nomor Panggil: FP-1254
    • Non-tandon: tidak ada
    • Tandon: 1
 Lihat Detail Induk
Abstract
Hurlock (1986) mengatakan bahwa cacat fisik yang ada pada diri seseorang dapat menimbulkan perasaan malu dan rendah diri sehingga hal ini membuat orang tersebut memiliki konsep diri negatif. Konsep diri menurut Fitts (1971) merupakan sesuatu yang dilihat, dipersepsi dan dialami oleh individu. Konsep diri meliputi empat aspek utama, yaitu aspek kritik diri, aspek harga diri, aspek integrasi diri dan aspek keyakinan diri. Keempat aspek tersebut menggambarkan bagian – bagian diri yang digolongkan dalam dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Masing – masing dimensi memiliki komponen – komponen spesifik yang merupakan detil dari bagian – bagian diri. Komponen – komponen dimensi internal terdiri dari komponen identitas diri, perilaku dan penilaian diri. Sedangkan dimensi eksternal terdiri dari komponen fisik, moral etis, diri personal, diri keluarga dan diri sosial. Akibat kecacatan yang dimiliki oleh anak, banyak orangtua dari remaja penyandang cacat tubuh yang tidak menyekolahkan anak mereka karena berbagai alasan (http://www.pikiran- rakyat.com/cetak/0704/18/hikmah/lainnya06.htm), namun banyak juga orangtua yang memasukkan anak mereka ke SLB maupun sekolah inklusi. Mangunsong (1998) mengartikan Sekolah Luar Biasa sebagai tempat pendidikan fomal bagi anak cacat yaitu penderita tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, penyandang cacat tubuh dan tuna laras. Adapun SLB diselenggarakan di Taman Kanak – Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Stainback dan Stainback (1996) mengemukakan sekolah inklusi merupakan sekolah dimana semua kebutuhan siswa dapat ditemui dan menampung semua siswa di kelas yang sama tanpa memandang bakat, ketidakmampuan, latar belakang ekonomi atau suku bangsa. Beberapa penelitian menunjukkan ketidakberhasilan penerapan pendidikan inklusi karena ada beberapa anak yang menjadi rendah diri ketika digabungkan dengan anak – anak normal (Royanto, 2005). Perasaan rendah diri yang dialami oleh anak tersebut menandakan anak-anak tersebut memiliki konsep diri negatif. Konsep diri yang negatif menandakan ketidakbahagiaan dan menjadi sumber motivasi yang lemah (Harter dalam Ubaydillah, 2007). Motivasi lemah inilah yang mengakibatkan buruknya prestasi akademik. Namun, ditemukan di Amerika bahwa anak penyandang cacat yang dididik dalam lingkungan belajar yang terpadu secara akademik dan sosial ternyata lebih unggul daripada anak-anak yang dididik secara terpisah http://www.mitranetra.or.id/arsip/index.asp?kat=Pendidikan&id=422200401). Hal tersebut menandakan bahwa mereka memiliki konsep diri positif yang berpengaruh pada kondisi emosi yang bahagia dan sumber timbulnya motivasi yang kuat (Harter, 1991). Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melihat gambaran konsep diri remaja tuna daksa yang bersekolah di sekolah inklusi dengan SLB D. Peneliti memilih subyek tuna daksa karena kecacatan mereka langsung terlihat oleh orang lain sehingga akan banyak orang yang memberi tanggapan pada keadaan fisik mereka, dimana tanggapan tersebut akan berpengaruh terhadap konsep diri mereka. Adapun pengertian anak tuna daksa menurut hasil seminar Nasional, Puskurandik, Balitbang, Depdikbud (dalam Mangunsong, 1998) adalah anak yang menderita cacat akibat polio myelitis, akibat kecelakaan, akibat keturunan, cacat sejak lahir, kelayuan otot – otot, akibat peradangan otak, dan kelainan motoric yang disebabkan oleh kerusakan pusat syaraf. Untuk melihat gambaran perbedaan konsep diri, peneliti melakukan wawancara mendalam berdasarkan pedoman wawancara yang mengacu pada teori konsep diri Fitts (dalam Christa, 2002). Karakteristik sampel pada penelitian ini adalah remaja tuna daksa usia 12 – 21 tahun yang tidak mengalami keterbelakangan mental. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua remaja tuna daksa yang bersekolah di SLB D dan dua remaja yang bersekolah di sekolah inklusi. Teknik sampling yang digunakan adalah theory – based / operational construct sampling. Hasil penelitian didapatkan bahwa subyek yang bersekolah di sekolah inklusi memiliki konsep diri yang berlawanan. DS kurang terbuka terhadap kekurangan diri, kurang puas terhadap diri dan kurang yakin dalam melakukan penilaian diri. Hal tersebut menandakan ia konsisten melakukan penilaian diri. Berkebalikan dengan DS, MRP terlihat terbuka terhadap kekurangan diri, cukup puas dengan dirinya dan terliaht yakin dalam melakukan penilaian diri. Hal itu menandakan ia konsisten melakukan penilaian diri. Subyek yang bersekolah di SLB D, terlihat sama – sama kurang terbuka terhadap kekurangan diri, tidak konsisten dalam melakukan penilaian diri dan telihat yakin dalam melakukan penilaian diri. Perbedaan terjadi pada kepuasan mereka terhadap diri mereka. DN merasa cukup puas dengan dirinya sedangkan GA tidak puas dengan dirinya. Faktor guru dan teman – teman berpengaruh besar pada konsep diri subyek di sekolah inklusi. Faktor tersebut tidak terlihat pada subyek yang sekolah di SLB D. Faktor orangtua yang terlihat berpengaruh besar bagi konsep diri remaja tuna daksa di SLB D. Dari hasil penelitian, peneliti menyarakan perlunya diadakan pelatihan untuk meningkatkan konsep diri anak. Murid di sekolah inklusi, guru dan orangtua remaja tuna daksa juga perlu memberikan lingkungan yang kondusif bagi mereka karena lingkungan terdekat berpengaruh bagi mereka. Penelitian pada remaja tuna daksa wanita juga perlu dilakukan untuk mengetahui adanya gambaran perbedaan antara konsep diri pada remaja tuna daksa wanita dan pria karena terdapat perbedaan konsep diri antara remaja pria dan wanita (Burns,
1993).
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Lihat Sejarah Pengadaan  Konversi Metadata   Kembali
design
 
Process time: 0.171875 second(s)