Kecenderungan bisnis modern dewasa ini semakin menuntut dan mengharuskan para pelaku bisnis dan tenaga kerja untuk tampil secara profesional. Profesionalitas tidak berarti hanya dalam hal-hal teknis yang berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan manajerial, finansial, dan kalkulasi untung rugi, namun juga untuk memperhatikan aspek-aspek moral yang berkaitan dengan loyalitas, komitmen terhadap mutu dan perusahaan, pelayanan, tanggung jawab, dan bisa dipercaya. Terkait pada etika bisnis di atas, maka pedoman dasar yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis maupun karyawan adalah integritas. Integritas yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai, norma, dan aturan yang berlaku secara sadar dan konsisten (Murphy, 2005). Dalam perkembangannya, integritas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu overt integrity dan covert integrity. overt integrity secara langsung mengungkap sikap dan perilaku yang berkaitan dengan pencurian dan kontraproduktif dan covert integrity adalah aspek kepribadian yang mengukur beberapa trait dan merupakan prediktor dari kejujuran. Robbins (2003) menyebutkan bahwa produktivitas seorang karyawan dalam perusahaan dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu Individual Level, Group Level, dan Organization System Level. Apabila keseluruhan faktor dapat berjalan dengan baik maka permasalahan karyawan seperti yang berhubungan dengan absensi, turnover, dan job satisfaction dapat diatasi. Akan tetapi, pada kenyataan di banyak perusahaan pengendalian tersebut tidak tersusun dengan baik dan menyebabkan hambatan bagi karyawan dalam bekerja. Apabila hambatan-hambatan yang dialami karyawan tidak dapat diatasi maka akan menimbulkan stres kerja. Stres adalah sebuah kondisi yang dinamis dimana seseorang dihadapkan pada peluang, kendala, sekaligus kehilangan akan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang ia inginkan dan hasilnya dipersepsikan tidak pasti namun penting (Robins, 2003). Reaksi terhadap stres dapat merupakan reaksi bersifat psikologis, fisik, maupun behavioral. Pada situasi kerja, apabila kondisi psikologis, fisik, atau behavioral seorang karyawan menurun atau berubah ke arah yang kurang baik, maka hal tersebut mengindikasikan bahwa ia mengalami stres kerja. Karyawan yang mengalami stres kerja tinggi tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan karyawan dengan tingkat stres rendah atau tidak memiliki stres akan melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, maka peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai hubungan antara stress kerja dan integritas pada karyawan di sebuah perusahaan. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat korelasional. Pengambilan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner secara random kepada 58 orang karyawan yang bekerja di PT XX Indonesia. Alat ukur yang akan digunakan yaitu alat ukur integritas hasil modifikasi overt integrity test dan covert integrity test yang disusun oleh Edward Hoffman (2002) dan alat ukur stres kerja dikonstruk berdasarkan gejala-gejala stres kerja menurut Robbins (2003). Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan metode perhitungan korelasi Pearson Product Moment. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan semakin tinggi stres kerja seorang karyawan maka integritas yang dimiliki, baik overt integrity maupun covert integrity, akan semakin rendah. Selain itu, dari hasil perhitungan dapat diketahui derajat stres kerja subjek penelitian tergolong rendah dan integritas yang dimiliki tergolong tinggi. Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah penambahan jumlah subjek penelitian yang digunakan agar lebih representatif menggambarkan populasi yang diteliti. Dalam dunia kerja, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk mengevaluasi perilaku kerja karyawan di perusahaan agar dapat diberikan pelatihan atau program pengembangan diri yang sesuai. |