Di Indonesia, pembahasan mengenai kesetaraan jender sudah makin marak dibicarakan, setidaknya dalam waktu 10 tahun terakhir ini. Walaupun kesetaraan jender ini sudah marak dibicarakan, namun masih terdapat pandangan di masyarakat khususnya di Jakarta akan superioritas maskulin yang diidentikkan dengan laki-laki. Di masyarakat, konsep mengenai jender saat ini masih rancu. Oleh karena itu penting untuk memahami terlebih dahulu perbadaan antara jenis kelamin (sex) dengan jender. Jenis kelamin (sex) dibedakan berdasarkan faktorfaktor biologis hormonal sehingga muncul dikotomi perempuan dan laki-laki. Sedangakan konsep jender mengacu kepada seperangkat sifat, peran, fungsi, tanggung jawab, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Berdasarkan hal tersebut, maka muncullah dikotomi maskulin laki-laki) dan feminin (perempuan). Maskulinitas dan feminitas ini sesungguhnya merupakan hasil konstruksi sosial, bukan hal kodrati. Melalui dikotomi tersebut maka muncul peran yang dibentuk budaya melalui karakteristik maskulin dan feminin. Hal ini disebut dengan peran jender, dimana karakteristikkarakteristik maskulin dan feminin berbeda satu sama lain. Peran jender itu sendiri didefinisikan sebagai serangkaian karakteristik, baik perilaku maupun sifat tertentu yang dinilai oleh masyarakat sebagai karakteristik pria dan wanita. Pembentukan peran jender pada diri seseorang didapat melalui proses pembelajaran sejak kecil yaitu observasi dan modeling. Proses ini dipengaruhi oleh budaya atau lingkungan tempat individu tersebut berada. Lingkungan tersebut salah satunya adalah keluarga dan media. Mengingat akhir-akhir ini kasus kekerasan dalam rumah tangga sudah semakin marak, maka seorang anak yang dibesarkan dengan kondisi keluarga seperti ini dapat mengadopsi tingkah laku tersebut dengan modeling dan observasi sesuai dengan teori sosial kognitif diatas. Ditambah lagi dengan semakin maraknya tayangan-tayangan kekerasan di televisi, dan media lainnya, dapat mempengaruhi pembentukkan peran jender pada diri individu. Lingkungan seperti inilah yang pada akhirnya membentuk seseorang dalam perannya akan jenis kelaminnya. Pembentukkan ini pada akhirnya akan mempengaruhi tingkah laku, khususnya relasi dengan lawan jenisnya. Saat ini seseorang tidak harus kaku memegang salah satu bentuk peran jender saja. Fleksibilitas dalam berperilaku pada perempuan maupun laki-laki saat ini memunculkan peran jender androgyny dimana baik perempuan maupun lakilaki dapat memiliki kedua karakteristik baik maskulin maupun feminin. Bentuk peran jender ini dianggap lebih ideal dibandingkan dengan bentuk-bentuk lainnya, serta dapat meningkatkan hubungan antar manusia (human relation). Dari berbagai bentuk human relations, berpacaran merupakan salah satu fase yang pada umumnya tidak terlewatkan oleh tiap individu di usia remaja atau dewasa awal. Dalam prosesnya, wajar jika terjadi konflik atau perselisihan dalam berpacaran, dan bagaimana seseorang menyikapi konflik akan relasinya dengan lawan jenis ini diasumsikan dapat dipengaruhi oleh peran jender yang terbentuk dalam dirinya. Konflik itu sendirinya pada akhirnya dapat menjadi kekerasan jika individu-individu di dalamnya tidak menyikapinya dengan toleransi dan asertif terhadap pasangannya. Fenomena kekerasan dalam pacaran, khususnya di Jakarta saat ini kurang mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Hal ini terlihat dari minimnya informasi dasn data mengenai kekerasan dalam pacaran. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat apakah terdapat hubungan antara peran jender dengan dating violence behavior. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif, dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner, yaitu Bem Sex Role Inventory (BSRI) untuk mengukur peran jender dan Revised Conflict Tactic Scale (CTS 2) yang telah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Setelah melalui proses uji coba, kedua alat ukur tersebut dianggap reliabel dengan koefisien reliabilitas BSRI sebesar 0,845 dan CTS 2 sebesar 0,957, dengan jumlah item sebanyak 60 untuk masing-masing alat ukur. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah dewasa awal usia 18- 40 yang sedang berpacaran selama minimal 1 tahun dan jumlah sample dalam penelitian ini sebanyak 97 orang. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa skala maskulin memiliki hubungan dengan dating violence behavior sebagai pelaku dan tidak memiliki hubungan dengan dating violence behavior sebagai korban, dan skala feminine memilimi hubungan yang arahnya negatif dengan dating violence behavior baik sebagai pelaku maupun korban. Melalui hasil penelitian ini juga diketahui bahwa dari 97 orang responden, hanya 10,3% yang tidak melakukan kekerasan dalam pacaran dan 89,7% dilaporkan melakukan setidaknya satu kali dalam satu tahun ini. Sedangkan sebagai korban, responden yang melaporkan mengalami kekerasan setidaknya satu kali dalam satu tahun ini sebanyak 80,4%, dan yang tidak mengalami dalam setahun belakangan ini sebanyak 19,6%. |