Sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan (terminally ill), penyakit yang tidak memiliki vaksin, penyakit yang tidak memiliki obat, penyakit dengan angka penyebaran yang tinggi, penyakit dengan resiko kematian yang tinggi, HIV/AIDS perlu mendapat perhatian khusus yakni pada dampak kematian pasien HIV/AIDS seperti pada perasaan duka cita dan kehilangan keluarga pasien HIV/AIDS serta dalam menyesuaikan diri terhadap tahap duka cita (denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance). Namun demikian, kondisi keluarga pasien yang ditinggalkan pasien HIV/AIDS mengaku tidak siap, tidak mampu menerima dan tidak mampu mengikhlaskan kematian pasien. Beberapa pendamping LSM yang mendampingi pasien juga mengaku kebingungan karena tidak adanya konseling duka yang memungkinkan pihak keluarga mampu menerima keadaan dan mengikhlaskan kematian pasien. Apabila keluarga yang berduka tidak mampu melewati tahap-tahap tersebut, maka ia beresiko mengalami gangguan yang muncul dalam gangguan fisik serta psikis. Sebagai salah satu bentuk intervensi terhadap keluarga pasien HIV/AIDS yang menghadapi dukacita, maka diusulkanlah konseling duka sebagai bentuk bantuan kepada keluarga dengan tujuan agar keluarga dapat melakukan komunikasi dan mempersiapkan diri untuk menghadapi, menerima kematian pasien, serta dapat kembali pada keadaan semula. Untuk mengetahui kebutuhan konseling duka di lapangan, maka dilaksanakanlah penelitian ini dengan menggunakan metode kualitatif teknik wawancara. Setelah data terkumpul, maka data diolah dengan menggunakan thematic analysis yang memungkinkan peneliti mengidentifikasi semua data dan menghubungkannya dalam sebuah pola sehingga menjadi sebuah tema yang penting. Dari penelitian tersebut, ditemukan bahwa perlu dilakukan konseling duka karena rata-rata keluarga pasien baru mengetahui status HIV/AIDS pasien dari orang lain (dokter, bidan, MK) saat kondisi pasien sudah tidak baik (infeksi oportunistik). Keterbatasan dalam melakukan pendampingan juga disampaikan oleh para pendamping mengingat mereka tidak melakukan konseling duka dan hanya melakukan psikoedukasi dasar. Saat pasien meninggal, para pendamping juga hanya datang untuk melayat, melakukan penatalaksanaan jenazah serta melakukan persuasi VCT pada pasangan. Ketidaksiapan keluarga pasien dalam menghadapi kematian pasien tampak dalam tahapan yang dialami oleh keluarga. Peneliti kemudian merekomendasikan untuk dilakukan konseling duka dengan beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan waktu, tujuan, kualifikasi konselor, dan tahap-tahap konseling serta kelebihan dan kekurangan konseling duka. |