Prostitusi merupakan salah satu bentuk eksploitasi seksual yang merupakan perdagangan manusia. Fenomena ini makin marak muncul di Indonesia dan yang paling banyak menjadi korbannya adalah anak perempuan. Prostitusi pada anak perempuan ini seringkali menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus ditanggung oleh si anak. Salah satu konsekuensi tersebut adalah stres pada anak. Adapun yang dapat menjadi stresor dalam dunia prostitusi adalah stresor psikososial, bioekologis, kekerasan, dan persaingan antar pekerja seks. Di berbagai daerah telah didirikan berbagai Yayasan yang menaungi anakanak yang menjadi korban prostitusi. Mereka memiliki berbagai program sebagai usaha pengentasan masalah prostitusi. Oleh karena itu, yayasan-yayasan tersebut perlu mendapat perhatian yang lebih agar mereka terbantu dalam pengembangan program-program yang mereka miliki. Salah satu perhatian yang dapat dilakukan adalah dengan memberi sorotan pada masalah stres yang dialami oleh para korban prostitusi anak. Stres merupakan persepsi yang dinilai seseorang dari sebuah situasi atau peristiwa. Penilaian yang dilakukan tersebut melalui dua tahap, yaitu primary appraisal dan secondary appraisal. Stres dapat menghasilkan berbagai respon stres, yaitu respon fisiologis, kognitif, emosi, dan tingkah laku. Kemudian, untuk mengatasi stres yang dialami, anak akan melakukan coping. Strategi coping terbagi menjadi dua, yaitu strategi problem focused coping dan emotion focused coping. Efektivitas coping tergantung dari keberhasilan pemenuhan coping task. Lalu, untuk menentukan keberhasilan coping yang dilakukan, dapat terlihat lewat kriteria yang ditunjukkan oleh coping outcome. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai stres yang dialami oleh anak perempuan yang menjadi korban prostitusi, dan bagaimana gambaran coping stres yang mereka lakukan untuk mengatasi stres yang Di berbagai daerah telah didirikan berbagai Yayasan yang menaungi anakanak yang menjadi korban prostitusi. Mereka memiliki berbagai program sebagai usaha pengentasan masalah prostitusi. Oleh karena itu, yayasan-yayasan tersebut perlu mendapat perhatian yang lebih agar mereka terbantu dalam pengembangan program-program yang mereka miliki. Salah satu perhatian yang dapat dilakukan adalah dengan memberi sorotan pada masalah stres yang dialami oleh para korban prostitusi anak. Stres merupakan persepsi yang dinilai seseorang dari sebuah situasi atau peristiwa. Penilaian yang dilakukan tersebut melalui dua tahap, yaitu primary appraisal dan secondary appraisal. Stres dapat menghasilkan berbagai respon stres, yaitu respon fisiologis, kognitif, emosi, dan tingkah laku. Kemudian, untuk mengatasi stres yang dialami, anak akan melakukan coping. Strategi coping terbagi menjadi dua, yaitu strategi problem focused coping dan emotion focused coping. Efektivitas coping tergantung dari keberhasilan pemenuhan coping task. Lalu, untuk menentukan keberhasilan coping yang dilakukan, dapat terlihat lewat kriteria yang ditunjukkan oleh coping outcome. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai stres yang dialami oleh anak perempuan yang menjadi korban prostitusi, dan bagaimana gambaran coping stres yang mereka lakukan untuk mengatasi stres yang mereka alami tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara sebagai metode pengumpulan data. Penelitian dilakukan pada dua anak yang menjadi korban prostitusi di daerah Jatinegara, beserta dua orang informan dari petugas Yayasan Bandungwangi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek mengalami stresor psikososial, bioekologis, kekerasan, dan persaingan antar pekerja seks komersial. Subjek pertama mengalami stresor lebih banyak dari subjek kedua. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa subjek pertama mengalami stres yang lebih berat dari subjek kedua. Kedua subjek tersebut melakukan proses penilaian dengan melalui dua tahap penilaian, yaitu primary appraisal dan secondary appraisal. Pada tahap primary appraisal, keduanya terlihat melakukan penilaian yang sama, sedangkan pada tahap secondary appraisal, keduanya melakukan penilaian secara berbeda, sehingga besar stres mereka pun juga berbeda. Kedua subjek sama-sama menunjukkan respon stres berupa respon fisiologis, kognitif, emosi, dan tingkah laku. Strategi coping yang digunakan keduanya sangat bervariasi, yaitu subjek pertama menggabungkan strategi problem focused coping, yaitu seeking social support dengan emotion focused coping, yaitu self control dan accepting responsibility. Subjek kedua hanya menggunakan strategi emotion focused coping, yaitu positive reappraisal dan escape/avoidance. Kedua subjek sama-sama dapat memenuhi sebagian dari coping task pada bagian yang saling berbeda. Namun, subjek pertama melakukan coping dengan lebih efektif karena dapat memenuhi coping task dengan lebih baik. Pada pencapaian coping outcome, coping yang dilakukan keduanya hanya dapat mengurangi arousal saja. Saran metodologis untuk penelitian selanjutnya adalah melengkapi metode penggalian data dengan menambahkan metode observasi. Selain itu, saran lainnya adalah mempertimbangkan kembali hal-hal yang belum disertakan yang dapat mempengaruhi penggalian data yang lebih dalam. Saran praktis yang diberikan adalah agar anak perempuan yang menjadi korban prostitusi dapat menggunakan strategi coping stres yang lebih efektif. Selain itu, keluarga diharapkan dapat lebih sabar dalam menuntun anak-anaknya yang menjadi korban prostitusi. Bagi Yayasan Bandungwangi, diharapkan penelitian ini dapat membantu pengembangan program yang dilakukan Yayasan. Sedangkan bagi para konselor/psikolog diharap penelitian ini dapat menemukan strategi coping yang lebih tepat dan sesuai untuk digunakan, dan bagi pemerintah agar dapat menindak lanjuti persoalan prostitusi dari segi hukum. |