Sebagai orang tua tunggal wanita, banyak masalah yang dihadapi. Apalagi dengan mereka yang memiliki anak dengan ASD. Semua stresor tersebut berpotensi menimbulkan stres. Stres yang dialami oleh orang tua tunggal wanita dengan anak ASD tentunya lebih berat dibandingkan dengan mereka yang memiliki anak normal. Sudah cukup banyak penelitian yang meneliti mengenai stres dan coping yang dialami oleh orang tua tunggal wanita akibat perceraian. Begitu juga dengan stres yang dialami oleh para orang tua yang secara lengkap mengasuh anak dengan ASD-nya. Namun belum ada penelitian yang berusaha menggabungkan kondisi keduanya, yaitu menjadi orang tua tunggal wanita dengan anak ASD. Alasan itulah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai gambaran sumber-sumber stres dan perilaku coping yang dilakukan oleh orang tua tunggal wanita dengan anak penyandang autisma. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai sumber-sumber stres yang menjadi stresor pada orang tua tunggal wanita dengan anak penyandang autisma, dan strategi coping yang dilakukannya. Mengenai stresor yang dihadapi orang tua tunggal wanita dengan anak penyandang autisma akan mengacu pada 7 stresor yang dikemukakan oleh Hurlock (1980), sedangkan untuk strategi copingnya akan mengacu pada Folkman & Lazarus (dalam Taylor, 1991). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam metode kualitatif, peneliti menggunakan wawancara dan observasi sebagai instrumen penelitian. Peneliti juga melengkapi dengan data kuantitatif dengan menggunakan alat ukur Parenting Stress Index (PSI) untuk mengukur derajat stres subyek dalam pengasuhan anak. Selain itu, peneliti juga membuat semacam ranking stres sederhana untuk menguatkan dugaan stres yang dialami subyek. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 orang subyek utama, dan 3 orang subyek pendukung sebagai responden penelitian. Karakteristik subyek yang digunakan antara lain merupakan orang tua tunggal wanita karena perceraian, telah menjadi orang tua tunggal minimal satu tahun, bekerja, memiliki anak dengan ASD usia sekolah dasar yang sudah didiagnosa oleh dokter/psikolog, dan berpendidikan minimum SMA. Untuk subyek pendukung adalah mereka yang paling dekat dan paling sering beraktivitas dengan subyek utama setiap harinya. Dari hasil analisis, didapatkan bahwa stresor yang dialami oleh subyek pertama adalah masalah ekonomi, pengasuhan anak, psikologis, emosional, sosial, kesepian dan konsep diri. Pada subyek ketiga, ia mengalami semua masalah yang dialami subyek pertama kecuali masalah konsep diri. Sebaliknya, pada subyek kedua ia terlihat tidak mengalami stres hampir di semua area masalah, hanya stress kecil di area pengasuhan anak. Untuk strategi coping yang digunakan dalam penyelesaian stresor, ketiga subyek menggunakan kombinasi dari strategi problem-focused coping dan emotion-focused coping, di mana strategi coping dominan yang digunakan masing-masing subyek berbeda-beda satu sama lainnya, tergantung permasalahan yang dihadapi. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini terbagi dalam dua bagian. Yang pertama, stresor yang dialami oleh orang tua tunggal wanita dengan anak penyandang autisma antara lain berkaitan dengan masalah ekonomi, pengasuhan anak, psikologis, emosional, sosial, kesepian, dan konsep diri, di mana masalah ekonomi dan pengasuhan anak menjadi stresor utama. Kedua, berkaitan dengan strategi coping yang dilakukan, ketiga subyek melakukan kombinasi kedua macam strategi coping, yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping, dengan 8 variasi strategi copingnya, tergantung jenis permasalahan yang dihadapi, di mana strategi coping yang dirasakan cukup membantu bagi orang tua tunggal wanita yang memiliki anak dengan ASD adalah seeking social support (PFC) dan positive reappraisal (EFC). Saran metodologis yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya di antaranya adalah melihat efektifitas coping yang dilakukan dengan melakukan pengukuran dari kriteria fisiologis dan biokimia serta perubahan aktivitas subyek, serta penambahkan variabel adjustment, mencari alat ukur yang memang ditujukan untuk orang tua tunggal karena perceraian, dan penggunaan subyek dengan karakteristik yang bervariasi. Saran praktis yang dapat diberikan kepada para orang tua tunggal wanita dengan anak penyandang autisma adalah: agar mereka lebih dapat memperhatikan dirinya sendiri, membuat target pencapaian bagi perkembangan anak dengan ASD-nya, dan mengembangkan sistem dukungan yang dimilikinya. Saran praktis untuk konselor/psikolog dan terapis anak yaitu: Melakukan pemeriksaan tingkat stres terhadap orang tua sebelum memasukkan anak ke tempat terapi, dan membantu orang tua tunggal dalam menemukan strategi coping yang tepat untuk mengatasi stresornya. Sedangkan saran bagi pemerintah yaitu: dapat lebih memperhatikan kebutuhan para orang tua tunggal wanita dengan anak ASD, terutama dalam hal pendidikan dan penyembuhan gangguan tersebut. |