Kasus pencemaran lumpur panas di Sidoarjo yang melibatkan PT. Lapindo Brantas sebagai pihak yang diduga melakukan pencemaran, merupakan kasus pencemaran yang perlu mendapat perhatian dan keseriusan baik oleh Pemerintah maupun aparat penegak hukum. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masalah yang muncul adalah tidak mudah untuk membuktikan apakah benar ada kelalaian yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas dalam prosedur kegiatan dan merupakan pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran tersebut. Secara yuridis penyelesaian kasus PT. Lapindo Brantas dapat dikenai ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1995 khususnya Pasal 3, UU Nomor 23 Tahun 1997 khususnya Pasal 34 jo Pasal 35 dan Pasal 41 jo Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47. Disamping itu apabila terbukti, maka PT. Lapindo Brantas dapat dikategotikan melanggar PP Nomor 27 Tahun 1999 mengenai AMDAL. Dari kasus diatas, dapat diambil pelajaran bahwa perlunya ketegasan dari pihak Pemerintah dalam hal perizinan dan pengawasan kegiatan serta tanggung jawab perusahaan terhadap pelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian penyelesaian kasus tersebut harus dilakukan dengan cara mempertimbangkan keberlangsungan bisnis perusahaan, adanya kepastian dan keadilan hukum serta keadilan dan kemanfaatan bagi korban lumpur Sidoarjo. Yakni apabila penyelesian disepakati dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Di Sidoarjo dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), maka isi atau ketentuan dalam Perpres itulah yang menjadi dasar penyelesaian, agar investor asing dapat percaya dengan sistem investasi di Indonesia. Namun demikian, Pemerintah juga harus menjamin bahwa masyarakat korban dapat menerima isi Perpres. |