Merger merupakan salah satu cara pengembangan dan pertumbuhan yang dilakukan oleh perusahaan untuk mencapai sasaran strategis dan sasaran finansial tertentu. Sehubungan dengan proses merger ada beberapa aspek perpajakan yang terkait didalamnya, diantaranya pajak penghasilan (PPh) ,pajak pertambahan nilai (PPN), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Seiring dengan proses merger perusahaan, hal-hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana perlakuan serta kewajiban perpajakan akibat dilakukannya merger, dan siapakah pihak yang bertanggungjawab jika ada kelalaian utang pajak setelah merger dilakukan serta bagaimana bentuk pertanggungjawabannya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, metode yang digunakan adalah metode kepustakaan dan wawancara lapangan. Dalam hal ini, perusahaan yang menjadi obyek penelitian adalah PT X yang pada bulan Juli 2005 menerima pengalihan harta dari PT Y. Secara keseluruhan proses merger PT X dan PT Y telah sesuai dengan dengan aturan-aturan yang diatur dalam UUPT serta PP tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perusahaan No.27 Tahun 1998. Berkaitan dengan aspek perpajakannya, PT X dan PT Y telah menerima perlakuan serta kewajiban perpajakannya akibat pengalihan harta dalam proses penggabungan usaha. Diantaranya adalah pengurangan BPHTB dan PPh pasal 25, kompensasi kerugian fiskal dan timbal balik utang piutang, penggunaan nilai buku, pelunasan tunggakan ketetapan pajak, dan lain –lainnya. Dasar hukum untuk perlakuan serta kewajiban pajak ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI nomor 469/KMK.04/1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999. Selain itu jika terjadi kelalaian utang pajak setelah merger dilakukan maka pihak yang bertanggungjawab adalah perusaahan yang mengambilalih. Perusahaan tersebut bertanggungjawab untuk membayar semua tunggakan pajak yang terlalaikan. Namun pada prakteknya hal tersebut jarang terjadi. |