Salah satu perubahan yang terjadi pada orang lanjut usia (lansia) disebabkan karena kondisi mereka yang sudah tidak lagi bekerja (pensiun). Beberapa dari mereka menganggap pensiun sebagai tahap untuk menghabiskan dan menikmati masa tua dengan keluarga tanpa harus memikirkan pekerjaan lagi. Namun, ada juga yang menilai bahwa pensiun dianggap sebagai fase menakutkan karena harus kehilangan kegiatan, peran, kedudukan dan kekuasaan, penghasilan, status serta harga diri. Anggapan negatif mengenai pensiun tersebut menyebabkan lansia mengalami post power syndrome setelah mereka mengalami masa pensiun (Kuntjoro, 2002). Erikson dkk.(dalam Papalia dkk., 2003) mengatakan bahwa masa lanjut usia adalah masa di mana seseorang berusaha untuk mencapai sebuah koherensi dan mencapai sebuah pribadi yang utuh. Hal itu disesuaikan dengan tahapan perkembangan mereka di antaranya mengevaluasi pengalaman hidup dan memberi makna pada tiap pengalaman hidup mereka (Turner & Helms, 1987). Pemberian makna pada pengalaman hidup tersebut sifatnya sangat subyektif pada masing-masing individu. Ryff (1989) menyebutkan bahwa penilaian subyektif terhadap kemampuan diri seorang individu disebut Psychological Well-Being (PWB) yang terdiri dari dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, autonomi, relasi yang positi dengan orang lain, tujuan hidup dan pertumbuhan diri. Penelitian ini membandingkan dimensi-dimensi PWB antara dua kelompok subyek yaitu lansia pria bekerja dan lansia pria pensiun. Fokus subyek penelitian adalah lansia pria karena pada umumnya pria yang bekerja sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dilakukan pada 60 orang subyek dengan kriteria berusia 60 tahun ke atas, jenis kelamin pria, sehat, terbagi ke dalam 2 kategori status pekerjaan; sudah pensiun (tidak berwirausaha) dan masih bekerja. Peneliti menggunakan alat ukur SPWB dari Ryff (1989), dengan reliabilitas antara 0.628 – 0.866. Setelah dilakukan uji beda (t-test) menunjukkan bahwa dimensi penguasaan lingkungan, pertumbuhan diri dan tujuan hidup kelompok lansia pria bekerja lebih tinggi daripada kelompok lansia pria pensiun. Sementara dimensi autonomi, hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok subyek. Berdasarkan kesimpulan tersebut, diharapkan agar para pemerhati masalah lansia menaruh perhatian lebih bagi para pensiunan maupun calon pensiunan agar dapat mempersiapkan masa pensiunnya dengan baik dengan membuat wadah bagi komunitas pensiunan maupun lembaga konseling pra-pensiun. Titik lemah dari penelitian ini adalah terbatasnya jumlah sampel, rentang jawaban terlalu banyak sehingga lansia sulit dalam menentukan jawaban yang sesuai dengan keadaan dirinya. |