Didalam kehidupannya, seluruh makhluk hidup selalu dikelilingi oleh kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya penting untuk terpenuhi demi elangsungan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan dasar yang terdiri dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, manusia dilengkapi dengan akal dan pikiran serta kemampuan yang handal untuk dapat selalu aktif mencari cara untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Berusaha dan bekerja merupakan salah satu usaha manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan pada manusia selalu berkembang mengiringi pertambahan usianya. Pada manusia yang berada di tahap perkembangan usia dewasa, salah satu tugas perkembangannya adalah mencari nafkah, hal ini dapat tercapai dengan memiliki pekerjaan atau bekerja (Havighurst, dalam Singgih dan Singgih, 1980). Bila ditelaah lebih lanjut, ternyata makna bekerja lebih dari sekadar semata-mata usaha untuk pemenuhan kebutuhan dasar saja, namun bekerja juga merupakan suatu bentuk pemenuhan kebutuhan yang sifatnya lebih psikologis, dalam hal ini adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Johanes, (www.e-psikologi.com) menjelaskan bahwa bekerja adalah suatu bentuk dari aktualisasi diri yang merupakan kebutuhan puncak dimana seseorang dapat menampilkan seluruh kemampuan dan kebebasan untuk merealisasikan cita-cita atau harapan yang ada, serta kebebasan untuk mengembangkan bakat atau talenta yang dimiliki. Hal ini penting mengingat terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri pada seseorang dapat menunjukkan kualitas hidup dan mengantarnya kepada suatu kondisi penyesuaian yang baik dalam keseluruhan hidupnya (Hurlock, 1986). Seseorang agar dapat mengembangkan bakat atau talenta dengan optimal membutuhkan kemampuan secara fisik dan aspek-aspek psikologis yang mendukung. Tetapi pada kenyataannya ada diantara kita yang memiliki hambatan secara fisik untuk dapat melakukan sesuatunya secara optimal. Mereka disebut dengan penyandang cacat. Mangunsong (1998) mendefinisikan penyandang cacat sebagai mereka yang mengalami ketidakberuntungan disebabkan oleh impairment atau disability yang membatasi atau menghalangi terpenuhinya suatu peran yang normal bagi individu yang bersangkutan. Padahal pada dasarnya, manusia yang berketerbatasan fisik dan manusia yang memiliki kesempurnaan fisik adalah makhluk yang sama. Makhluk hidup yang disertai dengan naluri alamiah untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar demi mempertahankan hidupnya. Dimana dalam pemenuhannya, penyandang cacat juga harus berusaha dan bekerja. Hal ini penting mengingat makna bekerja bukan hanya semata-mata sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar.Dari sekian banyak ragam keterbatasan fisik, tuna rungu merupakan jenis kecacatan yang masih dianggap memadai dalam hal pengetahuan, kemampuan serta keterampilan untuk dapat memegang pekerjaan dalam suatu jabatan (www.e-psikologi.com). Tetapi dalam kenyataannya, keterbatasan tersebut membuat lingkungan sekitar seolah-olah menganggap mereka adalah manusia berbeda, sering kali penyandang cacat didiskriminasikan, disepelekan, diolok-olok, dianggap tidak mampu dan sebagainya. Hal-hal ini kemungkinan akan dapat memunculkan kebiasaan berpikir negatif tentang diri. Dalam bahasa psikologi, istilah ini disebut dengan negative self thinking habit. Menurut Verplanken (2005), negative self thinking habit merupakan kebiasaan berpikir seseorang yang secara kognitif berisikan hal-hal negatif tentang diri dan dapat menyebabkan seseorang menjadi merasa pesimis, rendah diri, dan tidak mampu (Falcon, 2002).Bagi penyandang cacat tuna rungu, hambatan yang ditemui tidak hanya hambatan dalam pendengarannya namun menyangkut ke seluruh aspek kehidupannya (Sastrawinata, Salim, Sugiarto, 1977; Mangunsong, dkk, 1998). Hal tersebut tentunya akan mpengaruhi aspek psikologis mereka ketika melakukan sesuatu termasuk ketika mereka berada di lingkungan pekerjaan. Padahal dalam bekerja, seseorang memerlukan dorongan untuk bertindak. Dalam bahasa psikologi, dorongan untuk bertindak disebut dengan motivasi. Motivasi merupakan unsur penting karena motivasi merupakan sesuatu yang mendorong dan mengarahkan individu untuk mencapai tujuan tertentu (Madsen, 1959). Ketika bekerja, tentunya seseorang ingin melakukan sesuatunya secara maksimal. Bahkan menurut Maslow & Hughes (1986) orang-orang yang dianggap tidak mampu sekalipun pasti ingin merasa dirinya berharga dan berprestasi. McClelland (1987) menggunakan istilah need of achievement atau motivasi berprestasi untuk menjelaskan suatu dorongan yang membuat seseorang bertindak untuk mencapai suatu hasil yang maksimal dengan menitikberatkan pada tercapainya suatu prestasi tertentu dan penekannya pada bagaimana mencapai tujuan tersebut. Menurut Sardiman (1990), motivasi mempunyai hubungan yang erat dengan unsur psikologi, ditandai dengan munculnya perasaan yang merupakan bagian dari afeksi seseorang.Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali perusahaan yang cenderung berpikir dua kali untuk mempekerjakan seseorang dengan batasan fisik. Hal ini menyangkut kepada keraguan akan potensi dan kemampuan yang dimiliki penyandang cacat tidak sebaik dengan orang normal. Padahal, pemerintah sudah mensahkan Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan bagi penyandang cacat. Peneliti memiliki asumsi bahwa keraguan-keraguan terhadap potensi dan ampuan individu tuna rungu tersebut akan berdampak kepada cara mereka bekerja, karena anggapan-anggapan tersebut kemungkinan akan membentuk kebiasaan berpikir negatif tentang diri, dimana bila dibiarkan akan menghalangi seseorang untuk dapat mengembangkan dirinya, membuat seseorang merasa pesimis, rendah diri, hingga frustasi. Sehubungan dengan adanya fenomena ini, penulis mengadakan penelitian mengenai hubungan antara negative self thinking habit dengan motivasi berprestasi dalam bekerja pada tuna rungu. Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental dengan jumlah subyek 40 orang. Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah individu yang mengalami gangguan pada pendengaran dan sudah memiliki pekerjaan.Kedua variabel dalam penelitian ini diukur dengan HINT (Habit Index of Negative Thinking) terdiri dari 11 item dengan reliabilitas sebesar 0.790 dan alat ukur motivasi berprestasi yang diadaptasi oleh penulis dengan reliabilitas sebesar 0.929 untuk disesuaikan kepada subyek. Alat ukur motivasi berprestasi terdiri dari 35 item dibuat berdasarkan indikator ciri orang yang memiliki motivasi tinggi dari McClelland (1999). Seluruh perhitungan dilakukan dengan program statistik SPSS versi 12.00. berdasarkan hasil korelasi antara skor HINT dan Motivasi berprestasi didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara HINT dan Motivasi Berprestasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kebiasaan berpikir negatif tentang diri atau negative self thinking habit dengan motivasi beprestasi dalam bekerja pada tuna rungu. Hasil ini dapat menjadi saran praktis bagi pihak perusahaan yang mungkin masih ragu untuk mempekerjakan individu dengan eterbatasan fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biasaan berpikir negatif terhadap diri ternyata menjadi sebuah dorongan tersendiri untuk mereka bekerja dengan baik. Saran yang dapat disampaikan oleh penulis untuk penelitian selanjutnya adalah untuk menambahkan metode wawancara untuk memperkuat data dalam penelitian ini. |