Pertukaran perwakilan asing telah ada sejak dahulu, kemudian pada abad 16 dan 17 hal ini menjadi umum, terutama dalam negara-negara di Eropa. Pertukaran perwakilan asing biasa disebut teknik berdiplomasi, dan orang yang melakukan diplomasi disebut diplomat. Para diplomat tersebut memiliki hak kekebalan dan keistimewaan, diberikan berdasarkan prinsip reciprocity atau timbal balik. Awalnya pemberian hak kekebalan dan keistimewaan berdasarkan pada kebiasaan internasional, kemudian berkembang sebelum dan sesudah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bertujuan agar memiliki kekuatan hukum yang pasti. Baru pada tahun 1961 disahkannya Konvensi Wina 1961 yang berisikan terutama mengenai perlindungan bagi para diplomat, dan pemberian hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Sejak awal para diplomat dalam menjalankan tugasnya sering mengalami pelanggaran-pelanggaran, bahkan sejak adanya ketentuan hukum yang pasti terhadap diplomatik. Pada tahun 1980-an tingkat pelanggaran tersebut semakin meningkat, Indonesia-pun mengalaminya baik yang terjadi terhadap wakilnya di luar negeri maupun terhadap perwakilan asing di Indonesia. Permasalahan yang timbul adalah, hak-hak apa saja yang dimiliki oleh perwakilan diplomatik di negara penerima?, dan langkah yuridis apa yang dilakukan Indonesia bila terjadi pelanggaran terhadap perwakilan diplomatik?, mengenai hak-hak perwakilan asing dalam negara penerima adalah tidak dapat diganggu gugatnya perwakilan asing tersebut, kebal terhadap perangkat, dan aparat hukum negara penerima, dan mendapat kebebasan-kebebasan, seperti pembebasan bea masuk terhadap alat-alat yang digunakan untuk keperluan perwakilan asing tersebut. Kemudian langkah-langkah yuridis yang Indonesia lakukan dalam menghadapi pelanggaran terhadap perwakilan diplomatik adalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961, dan Konvensi New York 1973, dan juga ketentuan dalam Pasal 143 KUHP, serta langkah-langkah yang dikeluarkan oleh DEPLU Republik Indonesia. |