Ketentuan hukum mengenai pengingkaran keabsahan status anak sebagai anak sah oleh ayah dan ahli waris dari ayahnya yang tercantum dalam KUH Perdata dalam Pasal 251 sampai dengan Pasal 259 yang khusus berlaku bagi golongan Tionghoa dan Pasal 44 UU Perkawinan yang berlaku secara nasional, membawa sejumlah akibat berupa diskriminasi hukum terhadap hak-hak sipil anak yang sangat fundamental seperti; status hukum, identitas kultural, asal-usul, dan hak pewarisan anak. Sebagai salah satu negara peserta Konvensi Hak Anak (KHA), Indonesia seharusnya selalu meletakkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak pada prioritas tertinggi dalam setiap ketentuan yang menyangkut anak. Namun, ketentuan pengingkaran keabsahan status anak yang ada di dalam K.U.H. Perdata Pasal 251 sampai dengan 259, maupun UU Perkawinan Pasal 44, belum sepenuhnya berpihak pada anak karena dalam ketentuan tersebut tidak diatur mengenai jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang diingkari. Hak-hak anak yang wajib dilindungi sesungguhnya bukan hanya sekedar hak-hak anak dalam keadaan yang sulit dan tertindas, akan tetapi juga memasuki wilayah kesejahteraan anak yang lebih luas secara sosial keperdataan, yang tidak lain berkenaan dengan hak-hak sipil seorang anak. Anak-anak yang berada dalam situasi dan kondisi tertentu, yang mengakibatkan ia mendapat perlakuan diskriminatif akibat sistem hukum yang kurang berpihak pada mereka, membuat upaya untuk mewujudkan perlindungan hak-hak anak secara kongkret seolah-olah hanya menjadi teori hukum yang sulit untuk diwujudkan. |