Alat bukti elektronik khususnya rekaman video sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa dalam praktek acara pidana di Negara-negara maju, khususnya di Negara dengan sistem common law. Di Indonesia sendiri dalam beberapa undang-undang yang bernafaskan pidana (tindak pidana khusus) sudah diatur mengenai alat bukti rekaman data elektronik ini, namun bagaimana dengan tindak pidana umum yang acara pidananya menggunakan KUHAP? Dalam pasal 184 KUHAP yang menjadi undang-undang payung bagi hukum acara pidana di Indonesia hanya mengatur secara limitatif lima alat bukti yakni saksi, surat, keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Perumusan ini sudah ketinggalan zaman dan kurang mampu untuk mengakomodasi perkembangan masyarakat yang ada. Selama ini kedudukan rekaman video dalam praktek belum jelas. Banyak perdebatan mengenai pengakuannya dalam pembuktian perkara pidana, namun belakangan peran rekaman data elektronik khususnya video ini dapat mempunyai nilai dalam pembuktian di sidang pengadilan. Di dalam pembahasan ini akan diuji kembali batasan dan peraturan yang ada dalam hukum positif kita berkaitan dengan hukum pembuktian, termasuk juga bagaimana hubungannya dengan asas legalitas, bagaimana peran hakim dalam menemukan hukum, dengan mengakomodasi perkembangan teknologi sebagai perkembangan masyarakat dan mengaplikasikannya dalam peraturan hukum acara pidana yang ada, juga bagaimana mengoptimalkan peran rekaman video dalam proses pembuktian. Hal ini penting, agar hukum acara pidana kita tidak menjadi mandul dan dapat menjawab kebutuhan penegakan hukum pidana kita seiring dengan perkembangan masyarakat dan kriminalitas itu sendiri. Tentunya dengan tetap berdasarkan pada hukum positif yang berlaku. |