Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang laki-laki dituntut untuk melakoni peran jender tertentu berdasarkan jenis kelaminnya. Dalam kehidupan masyarakat berbudaya patriarki, termasuk Indonesia, peran jender untuk lelaki amat kuat dipengaruhi oleh ideologi maskulin (Richmond, 2003 ; Richmond et al., 2003 ; Ekastarti, 2003 ; Widyarini, 2004). Ideologi maskulin ini kemudian melahirkan tuntutan bagi setiap lelaki untuk tampil maskulin, tampak jantan dan mempunyai posisi lebih tinggi dari perempuan (Juliastuti, 2000). Anak-anak lelaki, sejak dini dididik untuk tidak bermain boneka serta dituntut untuk tidak mudah menangis (Cohen, 2001 ; Lewis, 1981). Beranjak dewasa, mereka lalu dituntut mengisi peran sebagai pencari nafkah utama (provider) dan pelindung (protector) bagi istri dan anak-anaknya. Guna meraih sukses, kaum lelaki dituntut untuk memiliki sifat-sifat maskulin seperti rasional, logis, tegas, ambisius, kompetitif, independen, dominan, berjiwa petualang, dan berjiwa kepemimpinan (Whitehead, 2003). Mereka juga dituntut untuk menghindari semua sifat maupun aktivitas yang bersifat feminin (Suwarno, 2005). Akibatnya, lelaki mengalami restriksi dan tidak memperoleh kesempatan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, dan sebagainya (O’Neil, 1995 dalam Nauly, 2003). Lelaki juga cenderung kurang ekspresif secara emosional, mengalami keterbatasan dalam intimasi, serta memiliki kesulitan untuk mengkomunikasikan perasaannya dalam suatu hubungan interpersonal. Mereka terokupasi pada karier, dan cenderung merepresi perasaan takut akan kegagalan yang dimilikinya. Para ahli meyakini bahwa keberadaan ideologi maskulin merupakan salah satu penyebab hal-hal negatif dalam kehidupan kaum lelaki (Levant,1996), misalnya jumlah populasi kaum lelaki yang selalu lebihbanyak daripada kaum perempuan sebagai pengguna narkoba, tuna wisma, pelaku kekerasan domestik, pecandu seks, pelaku pembunuhan, korban bunuh diri, korban kecelakaan mobil, korban gaya hidup, penderita penyakit mematikan dan korban stress, serta usia harapan hidup yang selalu lebih pendek. Kemudian timbul sebuah kesadaran untuk memberdayakan kaum lelaki bagaimana menjadi laki- laki sejati yang sehat dan bebas dari tuntutan ideologi maskulin, karena hampir semua kaum lelaki belum menyadari efek negatif dari tuntutan tersebut. Sebelum berbicara mengenai usaha pemberdayaan tersebut, terlebih dahulu diperlukan sebuah pembuktian ilmiah, apakah ideologi maskulin masih atau tidak lagi dianut oleh kaum lelaki, khususnya di Jakarta. Pembuktian semacam ini menjadi penting, mengingat adanya kemungkinan bahwa permasalahan mengenai ideologi maskulin ini tidak lagi relevan dewasa ini, sehubungan dengan pengaruh kemajuan zaman dan emansipasi wanita, atau bisa jadi hanya merupakan asumsi belaka para ahli. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ideologi maskulin masih atau sudah tidak lagi dianut, seberapa tinggi ideologi maskulin itu dianut dan aspek-aspek ideologi maskulin mana saja yang masih dianut oleh laki-laki dewasa di Jakarta. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian non-eksperimental. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian adalah skala ideologi maskulin yang disusun sendiri oleh peneliti, dengan menggunakan Brannon Masculinity Scale (BMS) dan Male Role Norms Inventory (MRNI) sebagai acuan domain dan indikator perilaku.Teknik analisis yang digunakan adalah analisis perbandingan nilai mean hasil pengukuran empiris dengan nilai tengah (mid point) skala ukur untuk mengidentifikasi apakah kelompok sampel tergolong kelompok ber-trait tinggi atau rendah (dominan atau tidak menganut ideologi maskulin) ; norma ideologi maskulin untuk mengetahui berapa banyak sampel yang tergolong kelompok tinggi maupun rendah ; dan Paired Samples T-Test untuk menentukan aspek ideologi maskulin mana yang paling dominan dan yang paling tidak dominan dianut. Hasil penelitian mengindikasikan Ideologi maskulin pada kelompok lakilaki dewasa di Jakarta tergolong trait tinggi (dominan). Mayoritas laki- laki dewasa di Jakarta termasuk dalam kategori sedang-tinggi. Ketiga aspek ideologi maskulin yang paling dominan yang masih diyakini oleh kelompok laki-laki dewasa di Jakarta, secara berurutan adalah (1)aspek toughness, (2)aspek self reliance/independency, dan (3)aspek aggression/adventure. Sedangkan aspek restrictive emotionality merupakan aspek yang paling tidak dominan. Peneliti memberi saran untuk melakukan penelitian serupa dengan penentuan rentang usia yang lebih pendek disertai kontrol terhadap variabel sekunder (SV). Selain itu juga dibutuhkan penelitian serupa untuk populasi dengan kasus-kasus khusus dengan menggunakan metode kualitatif. Saran praktis penelitian ini adalah agar kaum lelaki mulai dilihat sebagai kaum yang juga membutuhkan kesetaraan jender, agar dilibatkan dalam setiap wacana pencarian solusi kesetaraan jender, dan diperlengkapi dengan pemahaman persoalan jender yang bebas dari tuntutan ideologi maskulin. |