Penelitian ini diawali dengan pengamatan peneliti akan pentingnya peranan Bahasa Inggris yang begitu besar dalam era globalisasi. Berdasarkan pengamatan terhadap fenomena yang ada, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipandang masih belum ideal dalam menyelenggarakan pendidikan Bahasa Inggris. Sekolah memiliki keterbatasan-keterbatasan, di antaranya frekuensi jam pelajaran yang terbatas sehingga kesempatan untuk melatih keterampilan komunikatif kurang dan juga metode pengajaran yang tidak komunikatif (Sadtono, 1987). Ketika sekolah dalam kenyataannya masih berkutat pada masalah gramatika dan berbagai aturan berbahasa, kursus Bahasa Inggris menawarkan kelas yang melatih keterampilan berbicara dalam Bahasa Inggris (kelas conversation). Pada kelas conversation ini, kemampuan para pelajar dan masyarakat yang masih rendah dalam berbicara dengan menggunakan Bahasa Inggris, dapat dilatih dan ditingkatkan. Diharapkan setelah mereka lulus dari kelas conversation ini, mereka dapat memahami apa yang dibicarakan oleh dirinya dan juga harus dapat memahami apa yang orang lain bicarakan. Selain itu, individu tersebut juga harus dapat menggunakan kata-kata dengan tepat dan benar, tidak ketinggalan kelancaran pun menjadi tolak ukur yang penting, setelah lulus dari kelas conversation ini. Speaking skill yang akan mereka kuasai setelah lulus dari kelas conversation ini, mencakup fluency, interactive communication, pronounciation, vocabulary, grammar, risk taking & participation. Praktek Bahasa Inggris di kelas conversation tampaknya dapat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mewujudkan kefasihan seseorang dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris. Namun demikian, di balik kefasihan tersebut tentunya ada faktor-faktor yang mempengaruhi kefasihan seseorang dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris dalam conversation itu sendiri. Setelah mewawancarai salah satu staf pengajar, peneliti juga menanyakan hal yang serupa kepada para peserta kelas conversation, didapatkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kefasihan seseorang dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris tersebut, antara lain: motivasi, keberanian, mau menerima masukan (kritik), latihan terus menerus, suasana belajar (lingkungan), karakteristik guru, kesanggupan dan juga keyakinan akan kemampuan dirinya dalam melakukan speaking dengan baik dan benar. Dari semua faktor yang disebutkan di atas, memang kesemuanya dapat memiliki pengaruh terhadap kefasihan seseorang dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris. Namun demikian, dari seluruh faktor yang disebutkan terdapat dua buah variabel psikologis, yakni motivasi dan keyakinan akan kemampuan dirinya dalam melakukan speaking dengan baik dan benar (self-efficacy). Dimana faktor motivasi, oleh Harmer (1991) dinyatakan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kefasihan seseorang dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris. Akan tetapi, faktor keyakinan akan kemampuan dirinya dalam melakukan speaking dengan baik dan benar (self-efficacy) yang diungkapkan oleh para peserta kelas conversation adalah sebuah faktor yang tidak disebutkan oleh para ahli, dalam faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terhadap kefasihan seseorang dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris. Terdapatnya perbedaan antara apa yang terjadi di lapangan (fenomena) dengan teori yang dikemukakan oleh para ahli inilah yang pada akhirnya membuat peneliti ingin meneliti dan mengetahui lebih lanjut mengenai ada tidaknya hubungan keyakinan akan kemampuan dirinya dalam melakukan speaking dengan baik dan benar (self-efficacy) dengan prestasi Bahasa Inggris di kelas conversation. Selain itu, mengingat juga belum pernah diadakannya penelitian yang secara khusus menguji hubungan antara self-efficacy dengan prestasi Bahasa Inggris di kelas conversation, di Indonesia khususnya di Jakarta, maka peneliti tertarik untuk menguji dan melihat hubungan antara self-efficacy dengan prestasi Bahasa Inggris di kelas conversation. Namun demikian, perlu diketahui bahwa faktor motivasi dan faktor keyakinan akan kemampuan dirinya dalam melakukan speaking dengan baik dan benar (self-efficacy) merupakan dua buah faktor yang saling berkaitan, dimana self-efficacy merupakan bagian dari motivasi. Bandura (1986) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan faktor terpenting bagi seorang siswa untuk menampilkan kemampuan mereka. Hal ini berhubungan dengan, bagaimana seseorang dalam menilai kemampuan diri mereka sendiri, sehingga pada akhirnya menentukan apakah mereka akan berhasil atau gagal, ini juga mempengaruhi jumlah usaha yang mereka kerahkan, yang mereka persiapkan untuk mencapai kesuksesan. Penelitian ini menggunakan sampel para peserta kelas conversation yang secara keseluruhan baru pertama kali mengikuti kelas conversation dan juga telah lulus tes masuk (minimal telah menguasai grammar selevel dengan level basic 3, kelas grammar ILP tersebut). Selain itu, peneliti menggunakan sampel yang berada pada tingkat intermediate 2 dan juga menjadi peserta kursus yang aktif (tidak pernah menunda untuk melanjutkan level berikutnya dan selalu naik kelas). Sifat dari penelitian ini adalah non-experimental design. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yang dilakukan dengan membuat skala sikap untuk mengukur variabel tingkat self-efficacy dan melakukan perhitungan statistik dengan korelasi Pearson Product Moment untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu (self-efficacy) dengan variabel lainnya (prestasi Bahasa Inggris). Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah non-probability sampling jenis accidental sampling. Peneliti menggunakan try out terpakai (proses penelitian yang menggunakan sampel yang sama dengan sampel yang digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas alat ukur). Jumlah sampel sebanyak 30 orang. Hasil analisis statistik dengan korelasi Pearson Product Moment menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan prestasi Bahasa Inggris di kelas conversation. |