Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena anak tunggal yang semakin meningkat populasinya akhir-akhir ini, khususnya di beberapa kota besar di negara-negara maju dan berkembang. kepopuleran fenomena anak tunggal ini terjadi karena berbagai faktor yang berkaitan dengan pesatnya perkembangan dan tuntutan jaman saat ini, seperti misalnya tuntutan karier, ekonomi, dan sebagainya. Di negara Barat dan Cina, fenomena anak tunggal merupakan hal yang lazim ada dan terjadi, namun di Indonesia hal tersebut masih merupakan hal yang ada namun belum umum. Ini terjadi karena banyaknya persepsi negatif yang ada di seputar keberadaan seorang anak tunggal. Salah satu persepsi negatif mengenai anak tunggal yang paling umum adalah kesepian Laybourne, 1994; Nachman & Thompson, 1994). Banyak orang memutuskan untuk tidak memiliki anak tunggal karena mereka beranggapan bahwa anak tunggal adalah anak yang kesepian.Isu kesepian pada anak tunggal dipicu karena kondisi kesendirian mereka. Walaupun banyak ahli yang menyatakan bahwa anak tunggal bukanlah anak yang mengalami kesepian, Namun perbedaan kondisi sosial di Negara kita menjadikan anak tunggal di Indonesia, khususnya Jakarta, menjadi lebih rentan terhadap kesepian.Kesepian merupakan suatu kondisi subjektif seseorang yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, tertekan, dan membuat orang menjadi kontra-produktif dalam segala aspek kehidupannya .Menurut beberapa ahli perkembangan, kesepian terutama rentan terjadi pada saat seseorang berada pada tahap perkembangan usia remaja (Brennan, dkk dalam Brage, Meredith, Woodward, 1993). Apabila remaja tidak mampu mengatasi kesepiannya maka hal tersebut dikhawatirkan akan menjadi hambatan baginya dalam mengeksplorasi dan mengembangkan berbagai potensi dalam dirinya berkaitan dengan tugas perkembangan pembentukan identitas diri (Erikson, dalam Santrock 2003). Oleh sebab itu, perlu untuk dipahami lebih jauh mengenai cara dan strategi-strategi coping terhadap kesepian.Penelitian non-eksperimental ini berusaha mencari hubungan antara strategi coping terhadap kesepian dengan kesepian pada anak tunggal remaja SMA. Populasi penelitian ini adalah para anak tunggal remaja yang saat ini duduk di bangku beberapa SMA swasta di Jakarta, baik laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini menggunakan 2 buah alat ukur untuk dilihat korelasinya. Kedua alat ukur tersebut adalah kuesioner UCLA-R dan kuesioner coping with loneliness. Kuesioner UCLA-R diperoleh peneliti dari penelitian tentang kesepian yang pernah dilakukan sebelumnya, sementara kuesioner coping with loneliness diadaptasi dan dikembangkan oleh peneliti dari sebuah jurnal yang di susun oleh Amy Rokach & Heather Brock (1998). Dalam kuesioner coping with loneliness ini terdapat 6 jenis strategi coping terhadap kesepian. Masing-masing jenis strategi coping ini diwakili oleh sejumlah item yang disusun dalam sebuah skala sikap dengan 4 pilihan jawaban. Seluruh variabel penelitian di ukur dengan mengadministrasikan kuesioner kepada 85 orang subjek penelitian yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh kemudian diolah secara spesifik dengan menggunakan metode korelasi statistik Pearson’s Product Moment. Untuk memperdalam kajian, penulis juga melakukan pendataan identitas pribadi subjek yang berkaitan dengan hal-hal seputar kondisi dirinya (misalnya, keberadaan kekasih, hobi, dan sebagainya).Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan metode Pearson’s Product Moment ditemukan bahwa dari ke-6 strategi coping terhadap kesepian yang ada, 4 diantaranya (yaitu : Self Development & Understanding, Social Support Network, Religion & Faith, dan Increased Activity) berkorelasi secara negatif dengan kesepian pada anak tunggal remaja, satu berkorelasi secara positif dengan kesepian pada anak tunggal remaja (yaitu : Distancing & Denial), dan satu tidak berkorelasi secara signifikan dengan kesepian pada anak tunggal remaja (yaitu : Reflection & Acceptance). Sementara hasil perhitungan sebagai analisis tambahan dengan menggunakan metode statistik Multiple Correlation ditemukan bahwa dari ke-6 strategi coping terhadap kesepian, tiga diantaranya (yaitu : Social Support Network, Distancing & Denial, serta Increased Activity) memiliki sumbangan murni terhadap kesepian pada anak tunggal remaja SMA. Selain itu, dari hasil eksplorasi terhadap identitas pribadi subjek ditemukan pula bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara anak tunggal yang tinggal dengan extended family dan anak tunggal yang tinggal dengan keluarga inti (ayah & ibu saja). Dari hasil penelitian ini, maka penulis dapat menyarankan kepada para anak tunggal remaja, khusunya mereka yang sedang mengenyam pendidikan di bangku SMA agar memperluas pergaulan ke arah yang positif, meningkatkan aktivitas, dan belajar untuk mampu menerima dan menikmati kesendirian sehingga kemungkinan munculnya rasa kesepian dapat tereduksi. Sementara bagi para orangtua anak tunggal penulis dapat menyampaikan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kesepian antara anak tunggal remaja yang tinggal bersama keluarga inti ataupun extended family, maka orangtua tidak perlu merasa bimbang untuk memutuskan untuk tinggal secara mandiri (tidak bergabung bersama mertua atau orangtua). |