Jumlah angka pengangguran pada tahun 2004 mencapai 602.700 orang. Salah satu faktor penyebab membludaknya pengangguran ini ialah karena belum seimbangnya laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (Muhayar, 2004). Wirausaha terutama pada sektor kecil menengah dapat mengatasi masalah ini (Kompas, 24 Desember 2003, halaman 13). Untuk mengisi sektor usaha kecil dan menengah sesungguhnya kita dapat mengandalkan mahasiswa, yang ketika lulus nanti akan masuk ke dunia kerja. Namun data BPS tahun 1998 menunjukkan bahwa lulusan mahasiswa yang langsung berwirausaha hanya sebesar 4 % dari jumlah penduduk yang berwirausaha, dan tiga tahun berikutnya hanya naik menjadi 6 %. Mengingat intensi dapat meramalkan perilaku (Fishbein & Ajzen, 1975) maka diasumsikan intensi mahasiswa untuk wirausaha tidaklah kuat. Dalam Teori Entrepreneurial Event Shapero & Sokol (1982) intensi untuk berwirausaha dikatakan dipengaruhi oleh tiga determinan yaitu perceived desirability (persepsi terhadap keinginan), perceived feasiblity (persepsi terhadap kemampuan), dan propensity to act (kecenderungan untuk memunculkan perilaku). Rendahnya intensi mahasiswa untuk berwirausaha dapat dipengaruhi oleh faktor budaya. Masyarakat Indonesia masih melihat bekerja menjadi pegawai sebagai pilihan utama. Terbukti dari membludaknya pendaftar CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) setiap tahunnya. Dari fenomena ini diasumsikan adanya kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menghindari ketidakpastian atau resiko, sementara resiko adalah aspek penting dalam berwirausaha. Untuk memulai suatu usaha dibutuhkan keberanian dalam mengambil resiko yang terkandung dalam proses wirausaha tersebut. Dalam melihat risk taking seseorang kita dapat mengukur kecenderungannya dalam mengambil resiko (risk propensity). Menurut Sitkin & Pablo risk propensity dapat membedakan seseorang yang risk propense (pengambil resiko) dengan yang risk averse (penghindar resiko). Sesungguhnya pendidikan di perguruan tinggi dapat difungsikan sebagai wadah untuk menumbuhkan semangat entrepreneurship Damanhuri (2003) mengatakan bahwa perguruan tinggi ikut bertanggung jawab atas fenomena pengangguran sarjana, karena ketidakmampuannya mengembangkan pendidikan wirausaha.. Hasil-hasil penelitian mendukung hal ini dengan mengatakan pendidikan kewirausahaan dapat meningkatkan intensi dan sikap positif terhadap wirausaha (Kolvereid & Moen, 1997; Tkachev, Kolveroid, 1999; Fayolle 2002). Pendidikan kewirausahaan juga dapat berkontribusi terhadap sikap yang positif akan resiko, karena melaluinya tingkah laku mengambil resiko bisa dipandang mengakibatkan konsekuensi positif. Bagaimana proses terjadinya hal ini dapat dijelaskan melalui teori-teori belajar seperti “modelling”. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada perbedaan antara mahasiswa yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan dengan yang tidak. Karena penelitian ini diaplikasikan dalam konteks peranan perguruan tinggi, maka pendidikan kewirausahaan dilihat dari diberikannya kuliah kewirausahaan atau tidak. Jenis penelitian ini adalah non-eksperimental. Karakteristik sampel adalah mahasiswa semester 6 ke atas yang mendapatkan kuliah kewirausahaan dan yang tidak mendapatkan kuliah kewirausahaan di Jakarta. Jumlah responden penelitian yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan adalah sebanyak 92 orang dan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan adalah 77 orang. Terdapat dua kuesioner yang digunakan peneliti sebagai alat ukur, yaitu kuesioner intensi berwirausaha dan kuesioner kecenderungan mengambil resiko. Kuesioner intensi berwirausaha mempunyai nilai validitas 0.2567 s/d 0.6672 dengan nilai reliabilitas 0.937. Sedangkan kuesioner kecenderungan mengambil resiko mempunyai nilai validitas 0.3957 s/d 0.8975 dengan nilai reliabilitas 0.983.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kecenderungan mengambil resiko antara mahasiswa yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan dan yang tidak. Pada variabel intensi berwirausaha, ditemukan intensi berwirausaha mahasiswa yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan. Hasil analisa tambahan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecenderungan mengambil resiko dan intensi berwirausaha pada mahasiswa semester 6 ke atas. Untuk penelitian-penelitian selanjutnya saran yang diberikan peneliti adalah untuk meneliti secara lebih mendalam kurikulum-kurikulum yang diberikan pada kuliah kewirausahaan, meneliti dinamika hubungan antara intensi berwirausaha dan kecenderungan mengambil resiko, serta meneliti determinan intensi teori Entreprenurial Event sebagai teori alternatif untuk mengukur intensi berwirausaha selain teori Planned Behavior. Saran praktis dari peneliti adalah untuk mengembangkan pendidikan kewirausahaan pada berbagai jurusan yang ada, selain itu diharapkan kuliah kewirausahaan dapat lebih mengembangkan lagi karakter berani menghadapi resiko untuk membantu terwujudnya intensi berwirausaha di Indonesia |