Penelitian yang mengkaji mengenai hubungan agresivitas dan video game dilakukan pada tahun 2000 oleh Anderson dan Dill (2000). Hasil yang didapatkan antara lain adanya hubungan positif antara perilaku kejahatan agresif dengan bermain video game yang mengandung kekerasan. Perilaku kejahatan non-agresif juga berhubungan secara positif dengan sikap agresif dan bermain video game kekerasan. Hasil berikutnya, bermain video game berhubungan positif dengan kepribadian agresif, dan efek video game kekerasan lebih kuat pada individu yang memiliki agresivitas tinggi dibandingkan dengan yang memiliki agresivitas rendah. Pada studi tersebut, mahasiswa yang sebelumnya bermain video game kekerasan berperilaku lebih agresif terhadap lawan dalam suatu permainan kompetitif yang waktunya terbatas, dibandingkan dengan mahasiswa yang sebelumnya telah bermain video game yang tidak mengandung kekerasan. Perilaku agresif di sini diukur berdasarkan intensitas mahasiswa dalam permainan kompetitif yang telah dibuat oleh peneliti tersebut. Diluar situasi penelitian, mahasiswa yang sering bermain video game kekerasan selama bertahun-tahun ditemukan sering berperilaku agresif dalam kehidupan mereka. Teori agresi yang dipakai di penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Baron (1977), yang menempatkan agresi dalam konteks sosial, yaitu tingkah laku agresi yang diterangkan dengan memperhitungkan faktor lingkungan di luar individu. Baron mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk tingkah laku yang ditujukan untuk membahayakan; merugikan; atau menyakiti makhluk hidup lain yang tidak ingin diperlakukan demikian. Definisi ini mencakup: agresi sebagai tingkah laku, terbatas pada tingkah laku yang disengaja, agresi fisik dan verbal, ditujukan untuk makhluk hidup, dan korban tingkah laku agresif tidak ingin diperlakukan demikian. Video di sini memiliki dua definisi, yang pertama menjelaskan gambaran visual yang aktual pada televisi atau layar, dan definisi yang kedua mengenai proses mengirimkan gambaran visual (Hanson, 1987). Menurut Gunter (dalam Sugiyatmo, 1995), kadar kekerasan yang digambarkan dalam tampilan video game dapat dilihat dari lima hal, yaitu: gambaran kekerasan, jenis watak, bentrokan fisik, akibat kekerasan, dan penekanan kekerasan. Lalu video game yang dikategorikan mengandung kekerasan, memiliki kriteria sebagai berikut (Kurtz, 1999): pelaku kekerasan dalam video game mencoba menyakiti makhluk hidup lain, dalam permainan tersebut diperlihatkan akibat dari kekerasan yang dilakukan, pelaku dan target harus makhluk hidup, berbagai tokoh pelaku kekerasan dalam permainan yang spesiesnya tidak lazim atau berupa fantasi yang menyerupai manusia ataua makhluk hidup masuk pula ke dalam kategori video game kekerasan. Dalam berbagai masyarakat, masa remaja adalah masa yang bergerak dari ketidakdewasaan anak menuju kedewasaan adulthood. Masa remaja adalah periode transisi: biologis, psikologis, sosial dan secara ekonomi. Masa dimana individu tertarik secara seksual dan secara biologis mampu untuk memiliki keturunan. Mereka menjadi lebih bijaksana, lebih berpengalaman, dan lebih bisa membuat keputusan sendiri. Remaja diperbolehkan untuk bekerja, menikah, dan memilih. Dan pada akhirnya, remaja secara finansial diharapkan dapat menyokong diri mereka sendiri (Steinberg, 1993). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana hubungan tingkat kekerasan video game yang dimainkan remaja laki-laki di Jakarta terhadap kecenderungan agresivitas mereka? Jenis penelitian ini adalah penelitian noneksperimental. Subyek penelitiannya adalah remaja laki-laki berusia 18-21 tahun yang pernah atau masih bermain video game, berjumlah 40 orang. Teknik sampling yang diterapkan adalah teknik incidental sampling, dimana subyek dipilih karena mereka adalah yang paling mudah ditemui. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner, dimana tidak membutuhkan banyak biaya, waktu, dan tenaga. Skala yang dipakai ada dua, yaitu skala video game dari Anderson dan Dill (2000), dan skala agresivitas dari Buss dan Perry (1992). Data yang telah didapatkan diolah dengan menggunakan teknik statistik, yaitu Pearson Product-moment. Pengujian hipotesis memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat kekerasan video game yang dimainkan remaja laki-laki di Jakarta dengan agresivitasnya.Seperti yang dikatakan Morton (dalam Bond, 1988) bahwa untuk meneliti agresivitas harus dipertimbangkan adanya faktor latar belakang budaya yang bermacam-macam, termasuk terpengaruhnya agresivitas oleh media violence adalah melalui beliefs about aggression suatu masyarakat. Begitupun di Indonesia, agresivitas dipengaruhi oleh beliefs about aggression masyarakat Indonesia, dan juga oleh faktor-faktor lain.Pola asuh orangtua juga merupakan faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam penelitian agresivitas. Meskipun begitu, harus diingat bahwa, adalah salah untuk selalu menganggap orangtua sebagai “penyebab” dan anak sebagai “akibat”. Anak yang bermasalah tidak selalu merupakan hasil dari didikan orangtua yang tidak benar. |