Berawal dari krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997, mengakibatkan kondisi perbankan nasional mulai mengalami kesulitan likuiditas. Akhirnya, penutupan 16 bank pada 1 November 1997 tak terelakan. Untuk menjaga stabilitas perbankan, Bank Indonesia memberikan fasilitas kepada perbankan, yang disebut BLBI. BLBI merupakan program pemerintah dengan dukungan IMF yang dicantumkan sebagai Liquidity Support didalam Letter Of Intent 15 Januari 1998. Bank Indonesia sebagai Lender of Last Resort, berwenang untuk memberikan kredit likuidasi kepada bank-bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas, sehingga hal ini dijadikan landasan hukum bagi Bank Indonesia dalam memberikan BLBI, sesuai dengan Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Dalam menjalankan kebijaksanaan di sektor moneter, diperlukan adanya koordinasi dan sinkronisasi, karena hal tersebut, pemerintah membentuk Dewan Moneter. Dewan tersebut bertugas membantu pemerintah dalam pemikiran, perencanaan dan penetapan kebijaksanaan di bidang moneter. Adanya penyimpanganpenyimpangan dana dalam pemberian BLBI, yang pertama kali, ketika BPK mengungkapkan hasil audit pada Agustus 2000, laporan tersebut menyatakan adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dan aset senilai Rp.144,5 triliun. Oleh karenanya, pemerintah bersama-sama Gubernur Indonesia, berusaha untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu demi keselamatan perbankan nasional. Langkah-langkah tersebut antara lain, pengalihan hak tagih yang dilakukan BLBI oleh BPPN, kemudian melalui Raker BI dengan pemerintah pada tanggal 10 Oktober 2000 dan 17 November 2000,serta mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002, kebijakan tersebut dimaksud untuk menggugah para debitor untuk segera melunasi hutangnya kepada negara. |