Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan dasar hukum penguasaan tanah yang kemudian diatur dalam berbagai peraturan perundangan dibawahnya. Hak adat mendapat pengakuan dari Pemerintah, namun sepanjang dalam kenyataannya masih ada. Terdapat perbedaan kepentingan terhadap penguasaan tanah yang mengakibatkan konflik yang terkait dengan tata batas/tata ruang, hal tersebut karena Pemerintah dalam perencanaan tata ruang wilayah tidak melibatkan masyarakat setempat yang akan berhubungan langsung pada saat kebijakan diimplementasikan. Dengan pemetaan partisipatif peran serta masyarakat daerah semakin dilibatkan, hal ini karena prosespemetaan partisipatif bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat. Peraturan Perundangan yang menjadi peluang hukum bagi terlibatnya masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang adalah UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan Ruang, pada Pasal 2 ayat (2) huruf b, Pasal 4 ayat (2) dan PP Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, Pasal 2, Pasal 8, Pasal 12 dan Pasal 15. Dan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi peluang untuk membuat kebijakan sesuai kebutuhan dan keadaan daerah. Namun keterlibatan masyarakat belum terwujud sepenuhnya, hal ini karena kurang sosialisasi mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan tata ruang dan tidak diakuinya hasil peta dan kegiatan pemetaan partisipatif karena Pemerintah tidak mengakui kewenangan lembaga non Pemerintahsebagai fasilitator untuk melakukan kegiatan pemetaan partisipatif bila tidak memenuhi syarat dan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 tentang Surveyor Berlisensi. |