Dalam era globalisasi seperti saat ini yang disertai dengan kemajuan teknologi komunikasi modern, pergaulan manusia tidak lagi dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu seperti suku, agama, ras dan sebagainya. Dengan keadaan seperti itu maka dapat pula terjadi perkawinan antar suku, ras bahkan agama dan hal tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil. Perkawinan antar suku, antar ras bahkan antar agama atau beda agama sejak dulu dan sekarang selalu menimbulkan persoalan baik di bidanghukum maupun bidang sosial, terutama amat dirasakan di wilayah DKI Jakarta. Untuk perkawinan beda agama khususnya antara Katolik dan Buddha dalam pelaksanaannya sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengenai sahnya perkawinan, dapat dilaksanakan tanpa harus ke luar negeri, karena diserahkan pada hukum agama dan kepercayaannya. Dengan demikian jika hukum agama dan kepercayaannya sudah mensahkan dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, maka perkawinan tersebut menjadi sah menurut agama dan kepercayaan sehingga untuk pencatatan perkawinan pada kantor pencatatan sipil tidaklah mengalami kendala karena tugas dari pegawai pencatat hanya mencatatkan perkawinan tersebut saja, tidak boleh menolak. Melalui penelitian ini penulis melihat bahwa agama Buddha ternyata terbagi dalam beberapa aliran atau majelis, yang diantaranya ada yang mengizinkan perkawinan beda agama ada yang tidak, sehingga menimbulkan masalah bagi aliran atau majelis yang tidak mengizinkan. Tetapi dalam mengatasi permasalahan tersebut dapat ditemukan jalan keluar atau solusinya. |